Haluannews Ekonomi – Dominasi Bank Indonesia (BI) sebagai pemegang surat berharga negara (SBN) terbesar, mencapai 28%, menjadi sorotan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Laporan Survei Ekonomi OECD Indonesia November 2024 mengungkapkan, porsi kepemilikan BI jauh melampaui perbankan (17,9%), investor asing (17,9%), dan institusi keuangan non-bank (36,1% secara akumulasi). Kebijakan ini, yang gencar dilakukan pada 2020-2022 sebagai bagian dari burden sharing dengan Kementerian Keuangan, kini menuai pertanyaan.

Related Post
Mika Martumpal, Ekonom Bank CIMB Niaga, dalam wawancara di program Power Lunch Haluannews.id (Jumat, 29/11/2024), menjelaskan bahwa kepemilikan SBN yang besar oleh BI bertujuan meredam tiga risiko utama: kredit, kurs, dan suku bunga. Tingginya suku bunga global dan penguatan dolar AS, misalnya, membutuhkan intervensi untuk menjaga stabilitas rupiah.

Namun, pisau bermata dua ini menyimpan risiko. Jika likuiditas yang disuntikkan BI berlebihan, inflasi bisa melonjak dan memicu gelembung (bubble) di pasar keuangan. Pertanyaannya, seberapa besar ancaman ini bagi perekonomian Indonesia? Apakah strategi BI ini merupakan jurus jitu atau bom waktu yang siap meledak? Simak selengkapnya analisis mendalam Mika Martumpal dalam video wawancara tersebut untuk memahami risiko dan implikasi kebijakan ini.
Tinggalkan komentar