Haluannews Ekonomi – Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) membantah keras tuduhan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait praktik kartel bunga pinjaman online (pinjol). Kasus ini siap bergulir ke persidangan, dan AFPI menyatakan siap menghadapi proses hukum tersebut.

Related Post
Sekjen AFPI, Ronald Andi Kasim, menegaskan bahwa penetapan bunga maksimum flat 0,8% per hari dalam code of conduct AFPI tahun 2018 bukanlah kesepakatan sepihak untuk mengatur harga. "Itu ditujukan untuk melindungi konsumen dari praktik predatory lending," tegas Roni dalam konferensi pers, Rabu (14/5/2025). Ia menekankan bahwa mekanisme peer-to-peer (P2P) lending semata-mata menjodohkan pemberi dan penerima pinjaman, dan pembatasan bunga justru akan merugikan perusahaan.

Pendapat senada disampaikan Sunu Widyatmoko, Sekretaris Jenderal AFPI periode 2019-2023. Ia menjelaskan bahwa aturan batas bunga maksimum yang telah dicabut tersebut bertujuan untuk menurunkan bunga yang sangat tinggi pada saat itu, sekaligus membedakan pinjol legal dari yang ilegal. Data Satgas Waspada Investasi (SWI) menunjukkan lebih dari 3.600 pinjol ilegal beroperasi antara 2018 hingga 2021 dengan bunga mencekik.
Sementara itu, KPPU menemukan dugaan pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sebanyak 97 penyelenggara pinjol diduga menetapkan plafon bunga harian tinggi secara bersama-sama melalui kesepakatan internal yang dibuat AFPI. "Kami menemukan pengaturan bersama mengenai tingkat bunga selama 2020 hingga 2023. Ini membatasi kompetisi dan merugikan konsumen," kata Ketua KPPU, M. Fanshurullah Asa, dalam rilisnya (4/5/2025). Pernyataan ini menjadi tantangan besar bagi AFPI yang harus membuktikan klaim pembelaannya di pengadilan. Persidangan ini akan menjadi sorotan tajam bagi industri fintech di Indonesia.
Editor: Rohman










Tinggalkan komentar