Haluannews Ekonomi – Mitos tuyul dan babi ngepet yang mencuri uang kerap menghiasi cerita rakyat Indonesia. Namun, pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa makhluk halus ini tak pernah terendus mencuri di bank? Jawabannya ternyata lebih kompleks dari sekadar cerita mistis.

Related Post
Fenomena ini, menurut analisis ekonomi, berakar pada kecemburuan sosial di masa lalu. Liberalisasi ekonomi di Indonesia sekitar tahun 1870, seperti dijelaskan Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam "Ekonomi Indonesia 1800-2010" (2012), menciptakan jurang pemisah yang lebar antara petani miskin dan pedagang kaya baru. Petani kehilangan lahan dan terperosok dalam kemiskinan, sementara pedagang, baik pribumi maupun Tionghoa, menikmati keuntungan besar.

Ketidakpahaman akan sumber kekayaan mendadak para pedagang memicu kecemburuan. Petani, dengan pandangan hidup yang kental dengan mistisisme, menghubungkan kekayaan tersebut dengan praktik-praktik supranatural, seperti bantuan tuyul dan babi ngepet. Ong Hok Ham dalam "Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong" (2002) mencatat, tuduhan ini mencoreng reputasi para pedagang sukses, yang kemudian dianggap mendapatkan kekayaan secara haram.
Mitos tuyul dan babi ngepet pun semakin melekat dalam budaya Indonesia. Clifford Geertz, dalam "The Religion of Java" (1976), mengamati praktik pemeliharaan tuyul, mencatat ciri-ciri pemiliknya: kaya mendadak, kikir, sering mengenakan pakaian bekas, dan gemar bergaul dengan kaum miskin. Hal ini menunjukkan upaya pemilik tuyul untuk menyamarkan kekayaannya.
Namun, mitos ini tetaplah mitos. Ketidakmampuan tuyul dan babi ngepet untuk beraksi di bank bukanlah karena sistem keamanan bank yang canggih, melainkan karena mitos tersebut merupakan refleksi dari ketidaksetaraan ekonomi dan ketidakpercayaan pada mekanisme akumulasi kekayaan yang sah di masa lalu. Mitos ini lebih merupakan cerminan dari ketimpangan sosial daripada penjelasan logis atas fenomena ekonomi.
Editor: Rohman










Tinggalkan komentar