Haluannews Ekonomi – Pemerintah China dikabarkan tengah mempertimbangkan strategi berani: melemahkan nilai Yuan pada tahun 2025. Langkah ini, menurut sumber Haluannews.id, merupakan antisipasi terhadap potensi kenaikan tarif impor dari Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump.

Related Post
Membiarkan Yuan terdepresiasi, menurut sumber internal yang dikutip Haluannews.id, Kamis (12/12/2024), akan membuat ekspor China lebih kompetitif dan meredam dampak negatif tarif impor AS. Strategi ini juga berpotensi menciptakan ruang gerak yang lebih longgar bagi kebijakan moneter domestik.

"Membiarkan Yuan terdepresiasi tahun depan akan menyimpang dari praktik umum menjaga stabilitas nilai tukar," ungkap salah satu sumber Haluannews.id. Meskipun bank sentral China (PBOC) diperkirakan tidak akan secara terang-terangan meninggalkan kebijakan stabilisasi Yuan, sumber lain menyebutkan PBOC akan memberikan lebih banyak ruang bagi mekanisme pasar untuk menentukan nilai tukar.
Sumber ketiga bahkan menyebut PBOC telah mempertimbangkan skenario penurunan Yuan hingga 7,5 per dolar AS, atau sekitar 3,5% dari level saat ini (sekitar 7,25). Langkah ini bertujuan untuk meredam guncangan ekonomi akibat potensi perang dagang.
Yuan memang tengah menghadapi tekanan sejak 2022, terbebani oleh perlambatan ekonomi domestik, penurunan investasi asing, dan selisih suku bunga antara AS dan China. Analis memperkirakan Yuan akan berada di level 7,37 per dolar AS pada akhir 2025, namun proyeksi ini sangat bergantung pada besarnya kenaikan tarif yang diterapkan Trump dan kecepatan implementasinya. Sejak akhir September, Yuan telah melemah hampir 4% terhadap dolar AS.
Pelemahan Yuan diharapkan dapat membantu China mencapai target pertumbuhan ekonomi 5%, terutama dengan mendorong ekspor yang tengah melambat. Namun, Fred Neumann, kepala ekonom Asia HSBC, menilai strategi ini berisiko. Ia menyebutnya sebagai "opsi kebijakan yang picik", karena dapat memicu retaliasi berupa tarif atau pembatasan perdagangan dari negara-negara mitra dagang China.
"Ada risiko reaksi keras dari mitra dagang jika China terlalu agresif melemahkan Yuan, dan itu tidak menguntungkan China," tegas Neumann. Pertaruhan besar Xi Jinping ini pun menimbulkan pertanyaan: akankah strategi ini berhasil, atau justru menjadi bumerang bagi ekonomi China?










Tinggalkan komentar