Haluannews Ekonomi – Kisah unik datang dari Masagung atau Tjio Wie Tay, konglomerat Indonesia keturunan Tionghoa pemilik Toko Buku Gunung Agung. Keberhasilannya membangun kerajaan bisnis yang merambah sektor pariwisata, perhotelan, dan penukaran uang, justru memicu krisis batin di usia 50 tahun (1970-an). Kekayaan yang luar biasa, dengan pajak grup mencapai Rp 200 juta dan bea cukai Rp 2 miliar, membuatnya merasa takut. Bukan takut kehilangan, melainkan takut kekayaannya justru menjerumuskannya pada hal-hal maksiat.

Related Post
Puncak kejayaan Gunung Agung saat itu menjadi sentra jual beli buku di Indonesia. Namun, di balik kesuksesan finansial yang luar biasa, Masagung merasa gelisah. Hal ini diungkap dalam buku "Apa dan Siapa?" (2004) dan "Nusa Jawa Silang Budaya" (2009) karya Denys Lombard. Ketakutan akan "senjata makan tuan" membuatnya mencari jalan keluar.

Pertemuan tak terduga dengan Ibu Tien Fuad Muntaco, yang disebut sebagai pakar hipnotisme dan telepati, menjadi titik balik dalam hidupnya. Pengaruh spiritual Ibu Tien membawanya pada keputusan untuk memeluk agama Islam, setelah sebelumnya beragama Hindu. Perubahan ini, seperti yang dijelaskan dalam "Southeast Asian Personalities of Chinese Descent" (2012) karya Leo Suryadinata, berdampak signifikan pada kehidupan Masagung.
Ia menjelma menjadi sosok yang lebih Islami, aktif dalam menyebarkan ajaran agama Islam. Pendirian Yayasan Jalan Terang yang membiayai pembangunan masjid, rumah sakit, dan museum Wali Songo menjadi bukti nyata dedikasinya. Aktivitas dakwah di masjid-masjid Ibukota dan penerbitan buku-buku Islami semakin memperkuat komitmennya.
Perjalanan spiritual Masagung, yang diiringi pujian dari Denys Lombard atas langkahnya merangkul tradisi Jawa dan kebatinan, berakhir pada 24 September 1990. Kisah hidupnya menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana kekayaan yang melimpah bisa memicu pencarian spiritual yang mendalam.
Editor: Rohman
Tinggalkan komentar