Haluannews Ekonomi – Di tengah maraknya praktik nepotisme dan pemanfaatan nama besar orang tua untuk meraih kesuksesan, kisah hidup Soesalit, putra R.A. Kartini, menjadi angin segar. Berbeda dengan banyak anak pejabat yang memanfaatkan koneksi keluarga, Soesalit justru memilih jalan hidup yang jauh dari kemewahan dan gemerlap kekuasaan. Ia menolak memanfaatkan nama besar ibunya, pahlawan emansipasi wanita Indonesia, untuk meraih keuntungan pribadi.

Related Post
Lahir dari keluarga pejabat—ayahnya adalah Bupati Rembang—dan memiliki ibu yang namanya harum di seantero negeri, Soesalit memiliki akses istimewa menuju kesuksesan. Ia berhak menggantikan ayahnya sebagai bupati, tawaran yang berkali-kali diterimanya dari saudara-saudaranya. Namun, ia menolaknya dengan tegas. Alih-alih mengejar kekuasaan melalui jalur mudah, Soesalit memilih bergabung dengan tentara pada tahun 1943, berlatih di bawah tentara Jepang, dan kemudian menjadi bagian dari PETA (Pembela Tanah Air).

Setelah kemerdekaan, karier militer Soesalit menanjak. Ia terlibat dalam berbagai pertempuran melawan Belanda dan naik pangkat dengan cepat. Puncaknya, ia diangkat menjadi Panglima Divisi II Diponegoro pada tahun 1946, memimpin pasukan penting yang bertugas menjaga Yogyakarta. Soesalit bahkan pernah menjabat sebagai penasehat Menteri Pertahanan.
Namun, di balik kesuksesan militer dan jabatan sipilnya, Soesalit menyimpan rahasia besar: ia adalah anak R.A. Kartini. Ia dengan sengaja merahasiakan hal tersebut, menolak untuk memanfaatkan nama besar ibunya untuk meraih keuntungan atau simpati. Meskipun lagu "Ibu Kita Kartini" sudah populer dan kisah ibunya menginspirasi banyak orang, Soesalit tetap teguh pada pendiriannya.
Jenderal Nasution, atasan Soesalit, menjadi saksi bisu atas sikap rendah hati dan prinsip yang dipegang teguh oleh Soesalit. Setelah pensiun, Soesalit memilih hidup sederhana sebagai veteran, menolak hak-haknya sebagai seorang pejuang. Ia bisa saja hidup berkecukupan dengan mengungkap identitasnya sebagai putra Kartini, namun ia memilih jalan yang berbeda. Soesalit meninggal pada 17 Maret 1962 dalam keadaan sederhana, jauh dari kemewahan yang bisa saja ia raih. Kisahnya menjadi teladan bagi generasi muda, bahwa kesuksesan sejati tidak selalu diukur dari harta dan kekuasaan, melainkan dari integritas dan prinsip yang dipegang teguh.
Editor: Rohman
Tinggalkan komentar