Haluannews Ekonomi – Demam emas tengah melanda Indonesia. Tren ini didorong oleh ketidakpastian ekonomi global, menjadikan emas sebagai aset safe haven yang diburu investor. Hal ini berdampak positif bagi bank-bank yang menyediakan layanan bullion, dengan transaksi yang mendekati Rp 1 triliun sejak diluncurkan Februari 2025 lalu, menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pertumbuhan ini pun mendorong pertanyaan: akankah layanan bullion bank nantinya memisahkan diri dan menjadi entitas bisnis tersendiri?

Related Post
Bank Syariah Indonesia (BSI), satu-satunya bank yang saat ini menawarkan layanan bullion, mencatat pertumbuhan saldo emas 40% year to date (ytd) hingga Maret 2025, atau setara dengan kenaikan 177,32 kg. Penjualan emas pun naik 25% year on year (yoy). Lonjakan ini turut mendongkrak pendapatan berbasis fee BSI hingga Rp 9,83 triliun per 8 April 2025, meningkat 13,46% sejak layanan bullion diluncurkan.

Prospek bisnis bullion yang menjanjikan ini memicu diskusi mengenai potensi spin off. Trioksa Siahaan dari Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) menilai, spin off dimungkinkan jika bisnis bullion terus berkembang pesat. Namun, ia menekankan perlunya ekosistem yang mendukung, termasuk bursa emas, kustodian logam mulia, dan regulasi perpajakan yang matang. Hal senada disampaikan oleh pengamat perbankan Arianto Muditomo dan peneliti Next Policy, Dwi Raihan, yang menekankan pentingnya ekosistem yang terintegrasi dan peningkatan literasi masyarakat mengenai berbagai manfaat emas, di luar sekedar jual beli.
Meskipun potensi spin off tampak menarik, OJK masih belum memberikan lampu hijau. Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, menyatakan bahwa spin off masih belum memungkinkan saat ini dan perlu dievaluasi lebih lanjut. POJK Nomor 17 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Bullion juga belum mengatur mengenai hal tersebut. Untuk saat ini, bisnis bullion masih terintegrasi dengan bisnis perbankan utama.
Editor: Rohman
Tinggalkan komentar