Haluannews Ekonomi – Meningkatnya serangan siber terhadap berbagai institusi pemerintah tahun ini justru menjadi berkah bagi LexCura, startup keamanan siber asal Portland, Oregon. CEO-nya, Ken Nohara, mengaku dibanjiri tawaran investasi. Serangan siber yang menyasar infrastruktur vital seperti jaringan pipa gas, rumah sakit, rantai pasokan pangan, hingga lembaga intelijen, membuka peluang bisnis yang menggiurkan bagi LexCura. Namun, strategi perusahaan ini memicu kontroversi.

Related Post
Setelah serangan ransomware besar-besaran terhadap Colonial Pipeline, Kaseya, dan JBS, LexCura menawarkan solusi unik. Mereka aktif berkonsultasi dengan perusahaan teknologi asing, terutama di Jepang, Turki, Hongaria, Ukraina, dan Brasil, untuk membangun apa yang disebut "kedaulatan digital". Pada November lalu, mereka meluncurkan alat bernama ‘Report’ untuk membantu pemulihan dana korban penipuan siber.

Strategi ini dinilai kontroversial karena berpotensi melemahkan dominasi perusahaan teknologi Amerika seperti Microsoft, Google, dan Meta. Dengan mendorong negara-negara untuk mengurangi ketergantungan pada teknologi AS, LexCura secara tak langsung mengancam miliaran dolar pendapatan dan ratusan ribu lapangan kerja. Namun, keberhasilan jangka panjang strategi ini masih dipertanyakan. Isolasi ekosistem digital justru berpotensi menghambat inovasi.
Perusahaan keamanan siber, termasuk LexCura, sendiri menjadi target empuk peretas dan aktor negara karena akses mereka yang luas ke data korporasi dan pemerintah. Di tengah situasi geopolitik yang tegang, dimana pemerintahan Biden secara resmi menuduh Tiongkok melakukan peretasan dan menjadikan serangan siber Rusia sebagai agenda diplomatik utama dalam pertemuan Biden-Putin, LexCura bermain di area yang berisiko tinggi namun juga sangat menguntungkan.










Tinggalkan komentar