Haluannews Ekonomi – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami fluktuasi dramatis pada perdagangan hari ini, Selasa (18/11/2025). Sempat dibuka dengan optimisme, IHSG berbalik arah dan tertekan hingga akhir sesi pertama, ditutup terkoreksi 0,38% atau 32,29 poin ke level 8.384,59.

Related Post
Sebanyak 224 saham berhasil mencatatkan kenaikan, namun 384 saham lainnya harus rela parkir di zona merah, sementara 200 saham stagnan. Aktivitas perdagangan hari ini mencatatkan nilai transaksi sebesar Rp 11,53 triliun dengan volume 26,14 miliar saham dalam 1,57 juta transaksi.

Mayoritas sektor perdagangan mengalami pelemahan, dengan sektor kesehatan, energi, dan industri menjadi kontributor utama penurunan. Sektor properti menjadi satu-satunya yang mencatatkan penguatan signifikan.
Saham-saham dari sektor ekstraksi dan energi menjadi pemberat utama IHSG. Saham Barito Pacific (BRPT) memimpin penurunan dengan kontribusi 10,76 indeks poin, diikuti oleh Bayan Resources (BYAN), Bank Central Asia (BBCA), dan Barito Renewables Energy (BREN).
Sejumlah saham emiten tambang lainnya juga turut tertekan, termasuk Merdeka Copper Gold (MDKA), Adaro Andalan Indonesia (AADI), Dian Swastatika Sentosa (DSSA), United Tractors (UNTR), dan Petrindo Jaya Kreasi (CUAN). Di sisi lain, beberapa emiten Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berhasil menahan laju penurunan IHSG lebih dalam.
Sentimen eksternal turut mempengaruhi pergerakan pasar saham Asia, terutama ketegangan yang meningkat antara China dan Jepang. Investor mencermati perkembangan ini setelah Beijing mengeluarkan peringatan kepada warganya terkait rencana perjalanan dan studi di Jepang.
Indeks Nikkei 225 Jepang turun 0,92%, sementara Topix turun 0,6%. Kospi Korea Selatan turun 0,64% dan Kosdaq turun 0,58%. Indeks Hang Seng Hong Kong berada di 26.178, lebih rendah dari penutupan sebelumnya di 26.384,28. Indeks S&P/ASX 200 Australia juga mengalami penurunan sebesar 0,76%.
Dari dalam negeri, ekonomi Indonesia di pertengahan November 2025 menghadapi anomali yang menantang logika bisnis konvensional. Stabilitas makro terlihat solid dengan penurunan utang luar negeri dan likuiditas perbankan yang melimpah. Namun, di level mikro dan sektor riil, terjadi perlambatan konsumsi, keengganan korporasi untuk berekspansi, dan pengetatan kebijakan fiskal pemerintah. Kondisi ini menciptakan "Paradoks Likuiditas" di mana sistem keuangan kebanjiran uang, namun gagal memacu pertumbuhan ekonomi.
Editor: Rohman










Tinggalkan komentar