Kisah Pilu Anak Kartini: Tolak Warisan Nama Besar, Pilih Hidup Sederhana!

Kisah Pilu Anak Kartini: Tolak Warisan Nama Besar, Pilih Hidup Sederhana!

Haluannews Ekonomi – Berbeda dengan anak pejabat kebanyakan yang kerap memanfaatkan nama besar orang tua, Soesalit, putra tunggal pahlawan emansipasi perempuan R.A. Kartini, justru memilih jalan hidup yang bertolak belakang. Ia menolak privilese dan hidup sederhana, jauh dari sorotan gemerlap kekuasaan.

COLLABMEDIANET

Meskipun lahir dari keluarga terhormat—ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Djojadiningrat, menjabat sebagai Bupati Rembang—Soesalit enggan memanfaatkan nama besar ibunya untuk meraih kesuksesan. Namanya jauh kurang dikenal dibandingkan sang ibu, sebuah pilihan sadar yang mencerminkan integritasnya. Ia bahkan menolak tawaran untuk menggantikan ayahnya sebagai bupati, sebuah posisi yang seharusnya menjadi haknya.

Kisah Pilu Anak Kartini: Tolak Warisan Nama Besar, Pilih Hidup Sederhana!
Gambar Istimewa : awsimages.detik.net.id

Alih-alih mengejar kekuasaan, Soesalit memilih bergabung dengan tentara pada 1943, berlatih di bawah tentara Jepang dan kemudian bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air). Setelah kemerdekaan, ia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat Republik Indonesia, dan karier militernya pun menanjak. Wardiman Djojonegoro dalam "Kartini" (2024) dan Sitisoemandari Soeroto dalam "Kartini: Sebuah Biografi" (1979) mencatat keberanian dan kepiawaian Soesalit dalam berbagai pertempuran melawan Belanda, yang membawanya pada pangkat tinggi. Puncak kariernya tercapai pada 1946 ketika ia diangkat menjadi Panglima Divisi II Diponegoro, memimpin pasukan penting yang bertugas menjaga Yogyakarta. Ia juga pernah menjabat sebagai penasehat Menteri Pertahanan di Kabinet Ali Sastro pada 1953.

Ironisnya, sedikit orang yang mengetahui hubungan Soesalit dengan R.A. Kartini. Ia sengaja merahasiakannya. Meskipun nama Kartini terus dikenang dan dirayakan, bahkan diabadikan dalam lagu "Ibu Kita Kartini" karya W.R. Soepratman, Soesalit tetap memilih hidup sederhana, bahkan melarat setelah pensiun. Jenderal Nasution, atasan Soesalit, menjadi saksi bisu atas pilihan hidup tersebut. Nasution mencatat bagaimana Soesalit menolak hak-hak veterannya, memilih hidup susah daripada memanfaatkan nama besar ibunya untuk mendapatkan simpati dan bantuan. Soesalit meninggal pada 17 Maret 1962, meninggalkan warisan prinsip dan integritas yang jauh lebih berharga daripada kekayaan materi. Kisahnya menjadi pelajaran berharga tentang arti hidup yang sesungguhnya, jauh dari hingar bingar dunia politik dan kekuasaan.

Editor: Rohman

Jika keberatan atau harus diedit baik Artikel maupun foto Silahkan Laporkan! Terima Kasih

Tags:

Ikutikami :

Tinggalkan komentar